Pada blog kali ini kita akan membahas Stunting, apa itu stunting yang merupakan isu utama pembangunan kesehatan 2019-2024??
Isu
Pembangunan Kesehatan
1. Angka
Stunting 30 % di Indonesia
2. Perbaikan
pelayanan BPJS untuk mendukung program pelayanan kesehatan
3. Upaya
pelayanan kesehatan dasar di puskesmas diarahkan pada kegiatan promotif dan
preventif
4. Penggunaan
alat dan obat kesehatan local oleh masyarakat baru 15 %
Salah satu isu pembangunan kesehatan yang akan kita bahas kali ini adalah Stunting, apa sih stunting??
Latar Belakang
Berat badan saja bukan menjadi tolak ukur apakah seorang anak sudah bisa dikatakan sehat.Hampir Kebanyakan orang tua hanya melihat
perkembangan dan pertumbuhan anaknya dari berat badan saja,padahal salah satu faktor penentu seorang anak dikatakan sehat bisa dilihat juga dari tinggi badan sang anak.Pertumbuhan tinggi badan yang tidak normal dikenal dengan nama stunting.
Prevalensi stunting bayi berusia di bawah lima tahun
(balita) Indonesia tahun 2015 adalah 36,4%. dapat dikatakan lebih dari sepertiga atau
sekitar 8,8 juta balita mengalami masalah gizi di mana tinggi badannya di bawah
standar sesuai usianya. Stunting tersebut berada di atas ambang yang ditetapkan
WHO sebesar 20%. Prevalensi stunting / kerdil balita Indonesia ini terbesar
kedua di kawasan Asia Tenggara di bawah Laos yang mencapai 43,8%.
Namun, berdasarkan Pantauan Status Gizi
(PSG) 2017, balita yang mengalami stunting tercatat sebesar 26,6%. Angka
tersebut terdiri dari 9,8% masuk kategori sangat pendek dan 19,8% kategori
pendek. Dalam 1.000 hari pertama sebenarnya merupakan usia emas bayi tetapi
kenyataannya masih banyak balita usia 0-59 bulan pertama justru mengalami
masalah gizi. Guna menekan masalah gizi balita, pemerintah melakukan gerakan
nasional pencegahan stunting dan kerjasama kemitraan multi sektor. Tim Nasional
Percepatan Penanggulanan Kemiskinan (TNP2K) menerapkan 160 kabupaten prioritas
penurunan stunting. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013,
terdapat 15 kabupaten / kota dengan prevalensi stunting di atas 50%.
Berdasarkan hasil Riskesdas 2018
yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) pada angka stunting menunjukkan angka yang cukup menggembirakan.Angka stunting atau anak tumbuh
pendek turun dari 37,2 persen pada Riskesdas 2013 menjadi 30,8 persen berdasarkan hasil utama Riskesdas 2018. Adapun proporsi status gizi sangat pendek dan pendek menurut provinsi paling
tinggi yaitu di Nusa Tenggara Timur yang mencapai 42,6 persen dan terendah di DKI
Jakarta sebesar 17,7 persen.
Kepala Badan Litbangkes, Dr Siswanto,
mengatakan meski tren stunting mengalami penurunan, hal ini masih berada di
bawah rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Persentase stunting di
Indonesia secara keseluruhan masih tergolong tinggi dan harus mendapat
perhatian khusus.
A.
STUNTING
1.
Definisi
Stunting
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana
balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan
umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus
dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting
termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi
sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan
gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami
kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal.
2.
Ciri-ciri
Stunting
Stunting pada anak akan terlihat dari
perawakan anak yang kerdil saat mencapai usia 2 tahun, atau lebih pendek
dibandingkan anak-anak seusianya dengan jenis kelamin yang sama. Selain pendek
atau kerdil, anak yang mengalami stunting juga terlihat kurus. Walaupun
terlihat pendek dan kurus, tubuh anak tetap proporsional. Tetapi perlu diingat,
tidak semua anak yang pendek itu disebut stunting.
Selain mengalami gangguan pertumbuhan,
stunting pada anak juga memengaruhi perkembangannya. Anak dengan stunting akan
mengalami penurunan tingkat kecerdasan, gangguan berbicara, dan kesulitan dalam
belajar. Akibatnya, prestasi anak di sekolah akan buruk. Dampak lebih jauh dari
stunting adalah pada masa depan anak, di mana ia akan sulit mendapatkan
pekerjaan ketika dewasa. Anak dengan stunting juga memiliki sistem kekebalan
tubuh yang rendah, sehingga lebih mudah sakit, terutama akibat penyakit infeksi. Selain itu, anak yang
mengalami stunting akan lebih sulit dan lebih lama sembuh ketika sakit.
Stunting juga memberikan dampak jangka panjang terhadap kesehatan anak. Setelah
dewasa, anak akan rentan mengalami penyakit diabetes, hipertensi, dan obesitas.
Seluruh ciri-ciri anak stunting ini
sebenarnya adalah dampak dari kurangnya nutrisi, seringnya terkena penyakit,
dan salahnya pola asuh pada 1000 hari pertama kehidupan, yang sebenarnya dapat
dicegah namun tidak dapat diulang kembali
ciri-ciri anak stunting lainnya yaitu:
·
Pertumbuhan gigi terlambat
·
Penurunan kemampuan fokus dan memori
belajar
·
Pertumbuhan melambat
·
Wajah terlihat lebih muda dari anak
seusianya
·
Pubertas terlambat
·
Usia 8-10 tahun anak menjadi pendiam,
tidak banyak melakukan kontak mata terhadap orang di sekitarnya.
3. Situasi Stunting
a. Situasi
Global
Kejadian balita pendek
atau biasa disebut dengan stunting merupakan salah satu masalah gizi yang
dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8
juta balita di dunia mengalami stunting. Namun angka ini sudah mengalami
penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%.
Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia
(55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta
balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%)
dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%).
Data
prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO),
Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di
regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi
balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.
b. Situasi
Nasional
Kejadian balita
stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia.
Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir,
pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya
seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami
peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017. Prevalensi balita sangat pendek dan pendek
usia 0-59 bulan di Indonesia tahun 2017 adalah 9,8% dan 19,8%. Kondisi ini
meningkat dari tahun sebelumnya yaitu prevalensi balita sangat pendek sebesar
8,5% dan balita pendek sebesar 19%. Provinsi dengan prevalensi tertinggi balita
sangat pendek dan pendek pada usia 0-59 bulan tahun 2017 adalah Nusa Tenggara
Timur, sedangkan provinsi dengan prevalensi terendah adalah Bali.
4.
Faktor
Penyebab terjadinya Stunting
a. Situasi
Ibu dan Calon Ibu
Kondisi
kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan serta setelah persalinan
mempengaruhi pertumbuhan janin dan risiko terjadinya stunting. Faktor lainnya
pada ibu yang mempengaruhi adalah postur tubuh ibu (pendek), jarak kehamilan
yang terlalu dekat, ibu yang masih remaja, serta asupan nutrisi yang kurang
pada saat kehamilan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 97 Tahun 2014
tentang Pelayanan Kesehatan Masa sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan
Masa sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan
Kesehatan Seksual, faktor-faktor yang memperberat keadaan ibu hamil adalah
terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering melahirkan, dan terlalu dekat jarak
kelahiran. Usia kehamilan ibu yang terlalu muda (di bawah 20 tahun) berisiko
melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi BBLR mempengaruhi
sekitar 20% dari terjadinya stunting.
Dari data
Riskesdas tahun 2013, diketahui proporsi kehamilan pada remaja usia 10-14 tahun
sebesar 0,02% dan usia 15-19 tahun sebesar 1,97%. Proporsi kehamilan pada
remaja lebih banyak terdapat di perdesaan daripada perkotaan. Sedangkan menurut
data Susenas tahun 2017, hasil survei pada perempuan berumur 15-49 tahun
diketahui bahwa 54,01% hamil pertama kali pada usia di atas 20 tahun (usia
ideal kehamilan). Sisanya sebesar 23,79% hamil pertama kali pada usia 19-20
tahun, 15,99% pada usia 17-18 tahun, dan 6,21% pada usia 16 tahun ke bawah. Hal
ini menunjukkan bahwa setengah dari perempuan yang pernah hamil di Indonesia
mengalami kehamilan pertama pada usia muda atau remaja.
b. Situasi
Bayi dan Balita
Nutrisi
yang diperoleh sejak bayi lahir tentunya sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhannya termasuk risiko terjadinya stunting. Tidak terlaksananya
inisiasi menyusu dini (IMD), gagalnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif,
dan proses penyapihan dini dapat menjadi salah satu faktor terjadinya stunting.
Sedangkan dari sisi pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI) hal yang perlu
diperhatikan adalah kuantitas, kualitas, dan keamanan pangan yang diberikan.
Pada tahun 2017, secara nasional persentase bayi baru lahir yang mendapat IMD
sebesar 73,06%, artinya mayoritas bayi baru lahir di Indonesia sudah mendapat
inisiasi menyusu dini. Provinsi dengan persentase tertinggi bayi baru lahir
mendapat IMD adalah Aceh (97,31%) dan provinsi dengan persentase terendah
adalah Papua (15%). Ada 12 provinsi yang masih di bawah angka nasional
sedangkan Provinsi Papua Barat belum mengumpulkan data.
Asupan
zat gizi pada balita sangat penting dalam mendukung pertumbuhan sesuai dengan
grafik pertumbuhannya agar tidak terjadi gagal tumbuh (growth faltering) yang
dapat menyebabkan stunting. Pada tahun 2017, 43,2% balita di Indonesia
mengalami defisit energi dan 28,5% mengalami defisit ringan. Untuk kecukupan
protein, 31,9% balita mengalami defisit protein dan 14,5% mengalami defisit
ringan.
Untuk memenuhi
kecukupan gizi pada balita, telah ditetapkan program pemberian makanan tambahan
(PMT) khususnya untuk balita kurus berupa PMT lokal maupun PMT pabrikan yaitu
biskuit MT balita. Jika berat badan telah sesuai dengan perhitungan berat badan
menurut tinggi badan, maka MT balita kurus dapat dihentikan dan dilanjutkan
dengan makanan keluarga gizi seimbang.
c. Situasi
Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Kondisi sosial ekonomi dan sanitasi
tempat tinggal juga berkaitan dengan terjadinya stunting. Kondisi ekonomi erat
kaitannya dengan kemampuan dalam memenuhi asupan yang bergizi dan pelayanan
kesehatan untuk ibu hamil dan balita. Sedangkan sanitasi dan keamanan pangan
dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit infeksi. Berdasarkan data Joint
Child Malnutrition Estimates tahun 2018, negara dengan pendapatan menengah ke
atas mampu menurunkan angka stunting hingga 64%, sedangkan pada negara menengah
ke bawah hanya menurunkan sekitar 24% dari tahun 2000 hingga 2017. Pada negara
dengan pendapatan rendah justru mengalami peningkatan pada tahun 2017.
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh
higiene dan sanitasi yang buruk (misalnya diare dan kecacingan) dapat menganggu
penyerapan nutrisi pada proses pencernaan. Beberapa penyakit infeksi yang
diderita bayi dapat menyebabkan berat badan bayi turun. Jika kondisi ini
terjadi dalam waktu yang cukup lama dan tidak disertai dengan pemberian asupan
yang cukup untuk proses penyembuhan maka dapat mengakibatkan stunting. Pada
tahun 2017, 72,04% rumah tangga di Indonesia memiliki akses terhadap sumber air
minum layak. Provinsi dengan persentase tertinggi adalah Bali (90,85%),
sedangkan persentase terendah adalah Bengkulu (43,83%). Masih terdapat 20
provinsi yang di bawah persentase nasional. Sumber air minum layak yang
dimaksud adalah air minum yang terlindung meliputi air ledeng (keran), keran
umum, hydrant umum, terminal air, penampungan air hujan (PAH) atau mata air dan
sumur terlindung, sumur bor atau pompa, yang jaraknya minimal 10 meter dari
pembuangan kotoran, penampungan limbah, dan pembuangan sampah. Tidak termasuk
air kemasan, air dari penjual keliling, air yang dijual melalui tangki, air sumur
dan mata air tidak terlindung.
5.
Dampak
Stunting
Menurut WHO Dampak yang ditimbulkan
stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka pendek dan jangka panjang.
a. Dampak
Jangka Pendek
ü Peningkatan
kejadian kesakitan dan kematian.
ü Perkembangan
kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal.
ü Peningkatan
biaya kesehatan.
b. Dampak
Jangka Panjang
ü Postur
tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek dibandingkan pada umumnya)
ü Meningkatnya
risiko obesitas dan penyakit lainnya.
ü Menurunnya
kesehatan reproduksi.
ü Kapasitas
belajar dan performa yang kurang optimal saat masa sekolah.
ü Produktivitas
dan kapasitas kerja yang tidak optimal.
6.
Cara
mengatasi dan mencegah Stunting
Stunting merupakan salah satu target
Sustainable Development Goals (SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan
berkelanjutan ke-2 yaitu menghilangkan kelaparan dan segala bentuk malnutrisi
pada tahun 2030 serta mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah
menurunkan angka stunting hingga 40% pada tahun 2025. Untuk mewujudkan hal
tersebut, pemerintah menetapkan stunting sebagai salah satu program prioritas.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat
dengan Pendekatan Keluarga, upaya yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi
stunting di antaranya sebagai berikut:
a. Ibu
Hamil dan Bersalin
ü Intervensi
pada 1.000 hari pertama kehidupan.
ü Mengupayakan
jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu.
ü Meningkatkan
persalinan di fasilitas kesehatan.
ü Menyelenggarakan
program pemberian makanan tinggi kalori, protein, dan mikronutrien (TKPM).
ü Deteksi
dini penyakit (menular dan tidak menular); f. Pemberantasan kecacingan.
ü Meningkatkan
transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam Buku KIA; h. Menyelenggarakan
konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI eksklusif.
ü Penyuluhan
dan pelayanan KB.
b. Balita
ü Pemantauan
pertumbuhan balita.
ü Menyelenggarakan
kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita.
ü enyelenggarakan
stimulasi dini perkembangan anak.
ü .Memberikan
pelayanan kesehatan yang optimal.
c. Anak
Usia Sekolah
ü Melakukan
revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)
ü Menguatkan
kelembagaan Tim Pembina UKS
ü Menyelenggarakan
Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS)
ü Memberlakukan
sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba 13 Cegah Stunting, itu Penting.
d. Remaja
ü Meningkatkan
penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), pola gizi seimbang,
tidak merokok, dan mengonsumsi narkoba.
ü .Pendidikan
kesehatan reproduksi.
e. Dewasa
Muda
ü Penyuluhan
dan pelayanan keluarga berencana (KB).
ü Deteksi
dini penyakit (menular dan tidak menular).
ü Meningkatkan
penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak merokok/mengonsumsi narkoba.